Lompat ke konten utama
Kesehatan Mental

Toxic Positivity, Alasan Anda Tidak Perlu Memandang Segala Hal Hanya Dengan Emosi Positif

03/2023
family gathering

Pernahkah Anda bercerita keluh kesah mengenai pekerjaan atau hubungan keluarga kepada teman, lalu teman tersebut merespon dengan kata-kata seperti, “Sabar ya, kamu pasti bisa melaluinya”, atau “Jangan khawatir soal materi, karena rejeki sudah ada yang mengatur”, atau “Tenang, kamu pasti sembuh,” dan kata-kata membangun lainnya? Meski terdengar positif, namun jika kata-kata tersebut tidak menjawab situasi yang sedang Anda hadapi, Anda malah tambah jatuh dan terpuruk. Ini yang dinamakan toxic positivity.

Psychology Today 
pada Agustus 2019 menyebutkan, toxic positivity, atau kepositifan yang beracun, merupakan suatu konsep yang memandang hidup hanya dari emosi yang positif dan mengabaikan pentingnya emosi negatif dalam memandang segala sesuatu. Melontarkan dukungan dengan kata-kata positif adalah bagus. Namun, jika kata-kata positif itu tidak menjawab kondisi yang sesungguhnya, atau hal itu kurang tepat, atau hal itu tidak jujur, maka kata-kata positif tadi bisa menjadi racun. Ternyata, ada kalanya seseorang perlu mempertimbangkan emosi negatif dalam menjalani hidup.

Ciri-ciri toxic positivity

The Psychology Group
 menyebutkan, beberapa ciri toxic positivity antara lain:
 

  • Menyembunyikan perasaan sesungguhnya
  • Mencoba menerima dan mengabaikan perasaan sesungguhnya
  • Merasa bersalah akan suatu keputusan
  • Mengabaikan pengalaman orang lain dengan melontarkan kata-kata dukungan positif
  • Mencoba memberikan perspektif baru pada lawan bicara tanpa mempertimbangkan emosi orang lain tersebut
  • Mengejek atau mempersekusi orang lain yang sedang merekspresikan kefrustasiannya

 

Kenali penyebab toxic positivity

Ada beberapa alasan mengapa orang melontarkan dan melakukan toxic positivityPertama, boleh jadi seseorang tidak benar-benar menaruh perhatian, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Contohnya ialah respon yang tadi diutarakan di awal. Ketika Anda bercerita tentang kegagalan Anda di suatu bidang, teman Anda malah bilang untuk terus berjuang dan Anda pasti bisa. Padahal, sebetulnya Anda tertekan dan sudah lelah mencoba lagi. Kalau boleh jujur, Anda pun merasa Anda tidak berbakat di bidang tersebut. Jika teman Anda terus mendorong Anda, boleh jadi ia tidak benar-benar menaruh perhatian pada keadaan dan talenta Anda.

Kedua,
 toxic positivity mungkin timbul karena ujaran-ujaran positif lebih enak terdengar dan lebih mudah diterima oleh norma sosial. Hal ini paling sering terlihat di komen media sosial, di mana sepertinya komen yang diharapkan ialah komen yang positif. Mereka yang memberi komen positif ini tentunya berpikir bahwa komen yang negatif tidak sedap dilihat, merusak posting, atau bisa menimbulkan keributan dengan orang yang posting status.

Ketiga,
 orang yang mengeluarkan toxic positivity memang tidak punya solusi yang pas atau tidak bisa membantu lebih dari sekadar ucapan. Contohnya, ketika ada seseorang baru kehilangan keluarganya, lalu orang lain berucap, “Saya tahu rasanya kehilangan keluarga, pasti sedih. Tapi kamu harus tegar.” Bagi sebagian orang, mungkin ungkapan ini terdengar manis. Tapi sebetulnya, tidak ada seorang pun yang tahu rasanya jadi orang lain. Karena, beban yang dipikul setiap orang berbeda-beda. Contoh lain misalnya, ada seseorang kena rampok. Kemudian orang lain mencoba menguatkan dengan bilang, “Jangan sedih, rejeki pasti sudah diatur.” Padahal, orang lain yang kena tipu itu sedang butuh bantuan lebih dari sekadar ucapan.

 

Ini alasan mengapa Anda tidak perlu terus-terusan melakukan toxic positivity

 

1. Anda tidak jujur pada diri sendiri atau orang lain

Mengungkapkan hal positif tanpa mempertimbangkan kondisi Anda yang sebenarnya atau mendengarkan kondisi orang lain sama saja Anda membohongi diri sendiri atau orang lain. Dengan kata lain, Anda sebenarnya cuek terhadap keadaan Anda atau orang lain. Anda hanya enggan untuk memahami lebih dalam, enggan berempati, dan mencari jalan keluar yang lebih konkret. Sebaliknya, Anda malah mencari jalan gampang dengan mendorong diri atau orang lain dengan dukungan palsu yang tidak membantu.

 

2. Bisa menjebak orang lain pada kemalangan yang sama

Refinery29 pada Oktober 2019 menyebutkan, toxic positivity sering kali bukannya membantu, tapi justru menambah kerusakan yang telah ada. Ketika orang lain kemakan dengan kata-kata positif Anda, ia percaya, dan kemudian mengikuti omongan Anda, padahal hal itu belum tentu baik baginya, maka itu bisa menyebabkan orang lain tersebut kembali jatuh pada lobang yang sama. Jika ini terus dilakukan, ini hanya akan menjadi jebakan kemalangan berikutnya.

 

3. Anda berisiko mengulangi kegagalan

Begitu pula ketika Anda mengabaikan perasaan negatif sebelum mengambil suatu tindakan, Anda menjadi figure yang tidak mempertimbangkan segala sesuatu dengan matang. Seingga, risiko kegagalan yang Anda hadapi akan lebih besar di kemudian hari.

 

Respon tepat untuk mendukung orang lain yang sedang susah

Jika hal yang berbau positif tidak selamanya berdampak positif, lalu pertanyaan selanjutnya adalah, respon apa yang sebaiknya Anda berikan kepada mereka yang sedang bersusah hati?

 

1. Jadi pendengar yang baik

Jika ada orang lain yang bercerita pada Anda mengenai hal yang membuat ia tertekan, sebetulnya hal pertama ia perlukan ialah didengarkan. Maka, jadilah pendengar yang baik. Biarkan ia mencurahkan isi hati dan keadaan yang ia alami.

 

2. Cobalah berempati

Setelah itu, cobalah memahami, menganalisa, dan berempati pada situasi kawan Anda. Coba tempatkan diri Anda jika berada dalam situasinya. Jika Anda bisa membayangkan situasi yang berat tersebut, setidaknya Anda bisa lebih bijak dalam melontarkan respon.

 

3. Berikan solusi konkret

Kemudian, berikan solusi konkret agar lawan bicara Anda bisa keluar dari situasinya yang sedang susah. Misalnya, ketika teman mengeluh tentang pekerjaannya yang lembur dengan penghasilan tidak sesuai, sebetulnya dukungan yang ia butuhkan ialah referensi mengenai penghasilan tambahan atau lowongan pekerjaan lain, bukan sekadar ucapan, “Kamu harus tetap bersyukur, karena ada banyak orang yang lebih susah dari kamu.”

 

4. Diam lebih baik daripada memberikan toxic positivity

Jika Anda tidak bisa menawarkan solusi konkret, sebetulnya diam lebih baik daripada melontarkan dukungan palsu. Hal ini tentu lebih bisa diterima oleh kawan Anda, dan Anda pun bisa lebih jujur terhadap diri sendiri dan kawan Anda.

 

Bagaimana sikap diri sendiri ketika sedang dalam situasi sulit?

Sementara, jika Anda sendiri sedang menghadapi situasi sulit, berikut adalah sikap yang tepat untuk meresponnya:

 

1. Berikan waktu pada diri Anda

Jangan tekan diri Anda terlalu berat. Ada kalanya Anda perlu mentolerir diri Anda untuk merasa sedih, kecewa, jatuh, dan tertekan. Hanya saja yang perlu Anda ingat, Anda tidak perlu berlarut-larut dalam kesedihan terlalu lama. Ketika Anda sudah tenang, mulailah berpikir langkah selanjutnya yang akan Anda ambil.

 

2. Ambil sikap mengenai rencana ke depan

Setelah pikiran Anda lebih tenang dan dapat berpikir jernih, mulailah evaluasi apa yang membuat Anda merasa tertekan atau sedih. Jika hal itu adalah suatu yang bisa diubah, misalnya kegagalan, coba pikirkan langkah selanjutnya apakah Anda akan mencoba lagi atau berhenti sampai di situ dan mencoba hal lain. Dalam tahap ini, Anda perlu yakin terhadap kata hati Anda sendiri.

Jika hal itu adalah suatu yang tidak bisa diubah, misalnya kematian atau kehilangan, mungkin Anda bisa pelan-pelan mencoba menerima dengan ikhlas. Tidak gampang memang. Tetapi dengan ikhlas, Anda bisa menjalani hidup dengan lebih ringan.

 

3. Cari solusi yang konkret

Jika Anda terjebak dalam situasi sulit, misalnya utang besar, cobalah cari jalan keluar yang nyata seperti menjual aset atau melepas barang jaminan untuk membayar utang. Ini lebih baik daripada Anda menghindari debt collector karena terus meyakinkan diri bahwa suatu saat Anda pasti punya rezeki untuk melunasi utang.

Toxic positivity
 harus dihindari. Anda tidak perlu terus-terusan memandang segala sesuatu dari emosi positif, tanpa mempertimbangkan emosi negatif. Dengan mempertimbangkan emosi negatif, Anda bisa memahami suatu kondisi dengan lebih baik.