Jika ya, jangan abaikan rutinitas mengukur tinggi dan berat badan si bayi sebagai indikator tumbuh kembang balita. Dengan membandingkan berat dan tinggi badan bayi dengan standar World Health Organization (WHO), Anda bisa mendeteksi apakah si buyung kekurangan gizi atau tidak.
Kekurangan gizi ini bisa menjadikan pertumbuhan anak, baik fisik maupun otak, mengalami kemandekan. WHO mendefinisikan kegagalan pertumbuhan anak akibat gizi buruk, terkena infeksi berulang kali, dan kekurangan stimulasi psikososial sebagai stunting.
Yang patut kita waspadai adalah, angka anak-anak yang tergolong dalam kriteria stunting di Indonesia terbilang tinggi. Kenyataan ini tercermin dari hasil berbagai riset yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemkes). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Kemkes tahun 2018 mengungkap persentase anak-anak yang terbilang stunting di Indonesia mencapai 30,8%.
Pemantauan Status Gizi (PSG) yang digelar Kemkes di tahun 2017 menunjukkan hasil yang tak jauh berbeda. Kegiatan itu mengungkap persentase anak bawah lima tahun (balita) yang mengalami stunting sebesar 29,6%. Kedua persentase ini lebih tinggi dibandingkan dengan standar persentase stunting yang ditetapkan oleh WHO, yaitu 20%.
Tidak cuma para orangtua, kita semua patut mencemaskan angka stunting yang tinggi di negeri ini. Mengapa? Pertama-tama karena dampak stunting pada anak bukan hanya tampak pada pertumbuhan anak secara fisik, tetapi juga otak anak. Nah, jika pertumbuhan anak secara fisik masih bisa dikejar, tidak demikian halnya dengan pertumbuhan otak. Bahkan, anak yang mengalami stunting memiliki risiko mengalami kerusakan sel otak.
Akibat pertumbuhan otak yang terganggu, anak-anak yang mengalami stunting akan mengalami kesulitan belajar karena kemampuan kognitifnya terbatas. Dampak pertumbuhan otak yang terhambat ini akan berlanjut ke usia produktif. Di masa dewasanya, anak-anak stunting memiliki produktivitas yang lebih rendah dibandingkan rekan-rekan sebayanya.
Dampak lain dari stunting yang tak kalah merugikan adalah menurunkan sistim imunitas tubuh. Anak-anak stunting lebih rentan terjangkit berbagai infeksi. Sedemikian rentannya imunitas anak stunting sehingga ia menghadapi risiko kematian akibat terjangkit infeksi yang terjadi berulang kali.
Stunting juga menyebabkan sistem pencernaan seorang anak terganggu. Kondisi ini menggiring sang anak untuk ke pola makan yang tidak sehat. Tak heran, anak-anak stunting di masa hidupnya memiliki risiko obesitas, hipertensi, dan diabetes.
Dengan sederet akibat buruk yang ditimbulkannya, stunting memang kondisi yang harus diperangi bersama-sama. Namun sebelum bisa mencegah stunting, kita perlu memahami apa saja penyebab seorang anak mengalami kondisi stunting.
Seperti telah disebut di atas, stunting merupakan kondisi gagal tumbuh yang menimpa anak di bawah lima tahun, alias balita. Ada beberapa hal yang menyebabkan seorang balita stunting.
Hal ini terjadi untuk jangka panjang sehingga menyebabkan anak mudah terjangkit infeksi, serta kekurangan stimulasi psikososial. Psikososial adalah kondisi yang menggambarkan hubungan antara kondisi sosial seseorang dengan kesehatan mental atau emosionalnya.
Seorang anak mengalami kekurangan gizi bisa jadi karena orangtua tidak menyadari bahwa mereka harus memasok gizi yang memadai ke anaknya sejak anak masih berbentuk janin dalam kandungan ibunya. Dugaan ini merujuk ke hasil Riskesdas yang memotret kondisi konsumsi ibu hamil dan bayinya selama 2016-2017.
Hasil penelitian itu menunjukkan satu dari lima ibu hamil masih kurang gizi. Lalu, tujuh dari ibu hamil mendapatkan asupan dengan kandungan kalori dan protein yang tidak memadai. Nah, anak-anak dari ibu hamil yang kurang gizi jelas terancam stunting. Mengapa? Karena stunting terjadi akibat kekurangan gizi yang dialami sang anak sejak ia dalam kandungan sampai berusia 1.000 hari.
Setelah sang bayi lahir, banyak orangtua di Indonesia juga masih abai dalam menyediakan asupan yang bergizi. Kenyataan ini terungkap dari hasil Riskesdas yang sama. Penelitian itu menunjukkan tujuh dari 10 anak-anak balita mengalami kekurangan kalori, dan lima dari 10 balita kekurangan protein. Hal ini bisa menyebabkan stunting pada bayi.
Faktor lainnya yang menyebabkan stunting adalah terjadi infeksi pada ibu, kehamilan remaja, gangguan mental pada ibu, jarak kelahiran anak yang pendek, dan hipertensi.
Selain itu, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan termasuk akses sanitasi dan air bersih menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi tumbuh kembang balita.
Jadi, untuk memastikan anak Anda tak terhambat pertumbuhan otak dan fisiknya, langkah pertama yang harus Anda lakukan adalah memastikan sang ibu memakan makanan bergizi sejak masa kehamilan. Bagi para ibu, gizi anak yang memadai di saat hamil bisa didapatkan melalui konsumsi beragam sayur dan buah-buahan.
Penuhi pula kebutuhan gizi anak Anda sejak ia lahir hingga remaja untuk menghindari stunting pada bayi. Saat masih bayi, berikan anak Anda air susu ibu (IBU) atau susu formula selama enam bulan. Selanjutnya, berikan asupan gizi anak melalui makanan pendamping ASI (MPASI). Anda bisa mengikuti panduan MPASI yang dianjurkan WHO untuk anak-anak yang sudah mulai makan.
Saat usia remaja, jangan lupa sesuaikan asupan gizi anak dan jumlah makanan untuk anak untuk memastikan tubuh dan otak anak dapat bertumbuh secara optimal. Kecukupan gizi anak di usia remaja akan menjadi modal yang sangat penting bagi seorang perempuan kelak saat ia mengandung nanti.
Yang tak dapat diabaikan juga ialah gunakan air bersih baik untuk aktivitas sehari-hari seperti mandi dan cuci kakus, sanitasi yang baik, serta mengonsumsi air bersih. Mengonsumsi air yang bersih akan membuat tubuh sehat dan terhindar dari infeksi yang bisa menyebabkan ibu dan anak mengalami stunting.
Mari, lindungi diri Anda dan balita dari stunting dengan memperhatikan gizi anak dan tumbuh kembang balita.